Gelitik JARI : Kebebasan Demokrasi dan Keadilan serta Sekularisme Politik Dunia Islam
ebebasan demokrasi dan keadilan relasi serta sekularisme politik dalam dunia Islam terus berlangsung. Sekularisme politik merupakan alternatif dalam menyelesaikan problem antara agama dan politik, baik di dalam masyarakat religius maupun masyarakat non-religius atau masyarakat sekural.
“Apa tujuan dari sekularisme politik?”
“Anda pasti mendengar bahkan pernah membaca tentang Abdolkarim Soroush, beliau salah satu pewaris sekaligus seorang pembaharu peradaban Persia layaknya Murtadha Muthahhari dan Ali Syariati. Jika Syariati dikenal sebagai seorang teoritis dalam revolusi agama, Soroush dikenal karena teori revolusinya dalam membentuk pluralism agama dan hubungan politik dengan agama. Ia juga merupakan seorang revolusioner Iran. Berbeda dengan Syariati, Soroush melakukan revolusi bukan untuk mengubah dunia, tetapi untuk mengenali dan melakukan pendekatan kritis rasional dan kompleksitas dalam kehidupan beragama di zaman modern.”
“Pasca revolusi, Dia meyakini bahwa sekularisme politik merupakan alternatif dalam menyelesaikan problem antara agama dan politik, baik di dalam masyarakat religius maupun masyarakat non-religius atau masyarakat sekural. Terkait dengan demokrasi, dia menilai demokrasi adalah teori anti-tirani. Sedangkan tentang keadilan, ia menganggap keadilan memiliki akar dalam ajaran Islam dan menjadi dasar dalam kehidupan politik modern. Dan kebebasan adalah bersifat dinamis.”
“Ada tiga landasan teori yang digunakan oleh banyak negara Islam dalam system pemerintahannya. Landasan politik yang dimaksud adalah teori politik yang berasal dari Barat, teori dari Ahlussunnah wal Jama’ah, dan teori politik dari Syi’ah. Bagaimana dengan landasan pemikiran Abdolkarim Soroush?”
“Kalau kita analisa lebih dalam, pemikiran Abdolkarim Soroush begitu dekat dengan tradisi pemikiran liberal, selalu memperjuangkan nilai-nilai dasar nalar, kebebasan, dan demokrasi. Abdolkarim SoroushSoroush adalah salah satu pemikir Iran yang memperoleh perhatian yang besar dari dunia Internasional. Ia bahkan mendapat julukan “Luther of Islam” dan karyanya disamakan dengan Gadamer.”
“Tahun 2004 Soroush mendapat penghargaan Erasmus Prize untuk kategori Religion and Modernity, bersama dengan Sadiq al-‘Azam (Syria) dan Fatema Mernisi (Marocco). (“Erasmus Prize 2004 awarded to: Abdolkarim Soroush” 2004.). Soroush menganggap ideologi Marxisme sebagai “masked dogmatism. Dia menjadi salah satu dari tujuh orang anggota Komite Revolusi Kebudayaan yang bertugas melakukan perombakan kurikulum di seluruh universitas yang terdapat di Iran ditunjuk langsung oleh Imam Khomeini.”
“Mengapa Soroush meninggalkan Iran, padahal dia telah mendapatkan jabatan penting?”
“Dalam perjuangan intelektual dan politiknya, Abdolkarim Soroush tidak pernah mengejar posisi kekuasaan. Pada tahun 1994 dan 1995 menerbitkan artikel dengan tema: “Religious Democratic Government”, “Our Expectations of Religion”, “Maximalist Religion, Minimalist Religion”, “Ideologized Religion and Religious Ideology”, dan “Religious Pluralism”. Seluruh topik artikel tersebut mempertanyakan pemahaman ideologis agama dan cengkeram totaliternya pada kekuasaan politik.”
“Artikel-artikel tersebut membuat otoritas politik di Iran tidak nyaman. Sejak akhir tahun 1998, Soroush mulai mengalami kesulitan untuk bekerja di Iran, karena alasan itu ia mulai menerima undangan untuk mengajar di Universitas Barat seperti Harvard dan Princeton di Amerika, Wissenschaftskolleg di Berlin, juga di Free University Amsterdam dan International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) di Leiden, Belanda.”
“Siapa saja pemikir yang mempengaruhi pemikiran Abdolkarim Soroush?”
“Banyak pemikir yang mempengaruhi pemikiran Abdolkarim Soroush, seperti Murtadha Muthahhari (1920–1979), Muhammad Iqbal (1876–1938), Ali Syari’ati (1933–1977), dan Mehdi Bazargan (1907–1995). Tokoh yang sangat mempengaruhi pemikiran Abdolkarim Soroush adalah Muhammad Iqbal menyerukan rekonstruksi pemikiran Islam melalui perbaikan mendasar dari perangkat intelektual lama filsafat, teologi, dan hukum Islam. Tokoh dari pemikir Barat yang paling mempengaruhi Abdolkarim Soroush adalah Karl Popper filosof sains dan filosof ilmu sosial.”
“Soroush memandang Popper merupakan seorang filsuf yang sangat berguna bukan hanya untuk mengkritik Marxisme dan untuk mengurai beberapa kebingungan logis dan filosofis, melainkan juga untuk hal yang berhubungan dengan metafisika. Soroush mengakui bahwa Karl Popper adalah ahli filsafat seperti Kant yang ia kagumi sampai sekarang. Karya Karl Popper dalam filsafat sosial, The Open Society and Its Enemies sangat diapresiasi oleh Soroush. Ia menyatakan serangan Popper terhadap Marxisme dalam buku itu sama dengan serangan al-Ghazali terhadap filsafat Islam yang membuat filsafat Islam itu tak bisa tegak lagi di dunia Islam, begitu juga kritik Popper membuat Marxisme tidak bisa tegak lagi di dunia Barat.”
“Dari sekian banyak tokoh yang mempengaruhi hidup Abdolkarim Soroush, siapa yang paling utama?”
“Menurut Soroush sendiri adalah Jalaluddin Rumi. Ia mengakui bahwa Maulana Jalaluddin Rumi sangat mempengaruhi hidupnya. “Jika saya harus berbicara tentang satu orang sebagai model, ia adalah Mawlana Jalaluddin Rumi. Tidak ada yang memainkan peranan besar dalam hidup saya seperti dia”. Dalam kuliahnya di Stanford University tahun 2011, Soroush menyatakan bahwa Rumi is my life love [Rumi adalah cinta dalam hidupku]. Ia menyebut rumi sebagai Nabi Cinta (Prophet of Love). Bagi Soroush, Rumi mengajarkan cinta yang berfungsi untuk membebaskan akal dari sikap rakus (greed), sikap mementingkan dari sendiri (selfishness), dan banyak penyakit jiwa lainnya. Melalui pembebasan akal dari penyakit-penyakit hati tersebut manusia menjadi manusia bebas.”
“Bagaimana kita memahami kebebasan dalam masyarakat Islam?”
“Seseorang tidak dapat memahami kebebasan dalam masyarakat Islam tanpa kembali kepada filsuf abad pertengahan seperti Al-Farābi, Ibnu Sīnā, atau Ibnu Khaldun. Untuk mengetahui konsep kebebasan politik kita harus mengetahui konsep yang berlawanan seperti tirani dan demokrasi.”
“Apakah kebebasan dan ketidakbebasan tidak menjadi masalah bagi makhluk yang tidak berakal?”
“Kita tidak bisa berbicara tentang kebebasan bagi malaikat yang lebih mulia daripada manusia, atau bagi binatang yang lebih rendah daripada manusia. Kita bersemangat berkenaan dengan kebebasan dan mempertimbangkannya sebagai bagian hak manusia yang esensial, karena nalar dan kebebasan saling berhubungan. Kehilangan salah satu akan melemahkan eksistensi lainnya. Kebebasan adalah milik manusia yang rasional. Nalar membutuhkan pendamping dekat yang mempunyai kepentingan yang sama, yakni “kebebasan”.
“Mengapa orang masih banyak yang takut pada kebebasan?”
“Orang yang takut pada kebebasan adalah mereka yang mencintai ide-idenya sendiri yang lemah, sedangkan para pecinta kebenaran pasti sangat mencintai kebebasan. Kebebasan boleh jadi menyakiti keyakinan pribadi, tetapi kebebasan tidak mungkin menyakiti kebenaran kecuali bagi mereka yang mau mempribadikan kebenaran mutlak. Tidak seorang pun akan dirugikan oleh kebebasan kecuali mereka yang menderita narsisme dan megalomania.”
“Dengan cara apa keadilan dapat terwujud?”
“Keadilan adalah cita-cita sosial yang wajib diwujudkan dalam realitas sosial. Keadilan hanya bisa diwujudkan melalui demokrasi. Demokrasi adalah manifestasi modern dan pencarian abadi manusia dalam menentang ketidak-adilan dan menuntut keadilan. Namun, keadilan dapat berhasil hanya jika para pencarinya tidak terbebani oleh kemelaratan dan ketidakamanan.”
“Keadilan adalah prasyarat dan juga syarat bagi kekuasaan agama. Suatu kekuasaan yang tidak adil tidaklah agamis. Keadilan, kemudian, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan, mencapai hak-hak, dan menghapuskan diskriminasi dan ketidakadilan. Pemerintahan yang benar dan bisa diterima wajib mewujudkan keadilan di dalam kehidupan bermasyarakat.”
“Pemerintahan harus menjadi pemerintahan yang adil, dan keadilan adalah istilah yang didefinisikan diluar agama. Keadilan agama, berdasarkan fiqh, dan dipahami sebagai interpretasi dan penerapan hukum Al-Qur’an, dapat diturunkan langsung dari Al-Qur’an. Namun, konsep keadilan itu sendiri tidak dapat didefinisikan dengan merujuk pada Al-Qur’an saja. Keadilan mencakup konsepsi tentang manusia, tentang apa artinya menjadi manusia dan hak-haknya. Kita tidak mendefinisikan keadilan dari agama, tetapi kita menerima agama, karena agama itu adil.”
“Bagaimana penerapan demokrasi yang benar menurut Anda?”
“Demokrasi ditandai dengan adanya pemisahan kekuasaan, studi tentang kewajiban kepada warga negara umum, kemerdekaan dan otonomi pers, kebebasan berekspresi, dewan musyawarah pada berbagai tingkat pengambil keputusan, partai politik, pemilihan umum dan parlemen. adalah cara untuk mencapai dan menciptakan demokrasi. Ada beberapa pandangan tentang demokrasi dan terkait dengan agama di kalangan pemikir Muslim. Secara umum, terbagi menjadi tiga: kelompok yang menolak demokrasi secara total, pendukung demokrasi murni (nasionalis-sekuler), dan kelompok yang mencoba memadukan beberapa konsep.”
“Demokrasi adalah manifestasi modern dan pencarian abadi manusia dalam menentang ketidak-adilan dan menuntut keadilan. Demokrasi bisa dicapai oleh mereka yang sudah terbebas dari segala bentuk perbudakan lain. Soroush menyatakan, “demokrasi didambakan oleh kita semua, tetapi dalam kenyataannya demokrasi tidak dapat dijangkau oleh semuanya. Demokrasi mensyaratkan tingkat tertentu pada perkembangan norma, politik, dan pemerintahan yang bergantung pada perkembangan ekonomi.”
“Demokrasi adalah sistem politik yang tidak memiliki definisi yang akurat. Tidak terdapat konsensus mengenai definisi demokrasi. Bahkan, mencari definisinya di dalam kamus juga tidak membantu, karena definisi demokrasi sangat ditentukan oleh aliran teori politik tertentu. Makna demokrasi yang paling sederhana dan paling umum diterima berasal dari kata Yunani “demos” (people) dan “kratia” (rule or authority)menjadi “the rule by the people”.
“Apakah ada solusi untuk menghubungkan antara agama dan demokrasi?”
“Soroush setidaknya menghadirkan tiga cara: Pertama, melakukan rekonsiliasi agama dan demokrasi yang dinilai Soroush sebagai contoh kecocokan agama dan akal. Akal begitu sentral dalam menumbuhkan demokrasi agama. Seperti yang dikatakan Soroush, prasyarat demokratisasi pemerintahan agama adalah menggunakan konteks sejarah dan memberdayakan pemahaman agama yang menekankan peran akal. Alasan yang dimaksud adalah alasan kolektif yang muncul dari partisipasi publik dan pengalaman manusia dalam menggunakan metode demokrasi.”
“Prinsip kedua menyebutkan bahwa rekonsiliasi agama dan demokrasi menunjukkan kecerdasan meta-religious artifice yang memiliki epistemologi dimensi ekstra-religius. Artinya, agama berbicara tentang “demokrasi”. Maksudnya, masalah demokrasi termasuk objek pemikiran dan kajian Islam. Ketiga, pemahaman agama harus beradaptasi dengan kenyataan bahwa demokrasi telah berhasil membatasi kekuasaan, mencapai keadilan, dan mendapatkan hak asasi manusia. Artinya, agama harus menerima pencapaian tersebut untuk memahami dan menerima demokrasi. Keempat, hak arbitrase (pemecahan masalah) disampaikan kepada kearifan publik yang dinamis yang berkaitan dengan agama. Kelima, pemahaman bahwa agama berubah, bersifat rasional, dan selaras dengan kriteria umum non-keagamaan diterima untuk memutuskan persoalan-persoalan pemerintahan yang demokratis keagamaan. Keenam, tanpa masyarakat yang religius, pemerintahan yang demokratis tidak dapat digagas.”
“Lalu apakah Sekularisme Politik itu?”
“Sekularisme adalah hasil dari rasionalisasi dan revolusi sains modern. Pengetahuan sains modern telah mengubah bukan saja pandangan manusia tentang dunia, melainkan juga pandangannya tentang kemampuan dan posisinya sendiri di dalamnya. Menurut Soroush, revolusi yang terjadi dalam ilmu pengetahuan alam telah menjangkau ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, ekonomi, dan ilmu politik merupakan sekularisasi. Sekularisme, dalam pengertian ini, tidak lain adalah “saintifikasi” dan rasionalisasi pemikiran terhadap pertimbangan sosial dan politik (Soroush 2002, 80).”
“Sains modern menjelaskan dunia seolah-olah tidak diciptakan oleh dewa. Sains memang tidak menyangkal keberadaan dewa, tetapi tidak merasa perlu menjadikannya sebagai dalil. Dengan kata lain, ada asumsi bahwa meskipun ada dewa, sains tetap dapat menjelaskan dunia tanpa mengandalkan eksistensinya. Dewasa ini, sains tampaknya telah menimbulkan pengaruhnya pada perilaku individu dan tata cara pemerintahan. Perkembangan sains inilah yang memicu lahirnya sekularisme dalam kehidupan duniawi.”
“Apa konsep dasar sekularisme itu?”
“Tiga konsep yang saling berhubungan: modernisasi, sekularisasi, dan reformasi. Modernisasi adalah suatu proses pengembangan dan pembedaan progresif dari institusi-institusi dan lingkungan kehidupan di bawah pengaruh kemajuan ekonomi dan teknologi yang terkait dengan kemunculan kapitalisme. Sekularisasi adalah satu contoh modernisasi yang membedakan agama dari institusi ekonomi dan politik, yakni pemisahan gereja dan negara. Sekularisasi juga dapat berarti pemisahan agama dari budaya dan hati nurani.”
“Ada pun reformasi adalah upaya umat beragama dalam mengantisipasi, menyesuaikan, atau merespon perubahan yang terjadi terkait dengan sekularisasi. Sekularisasi mempunyai aspek sosio-politik dan psikologi budaya. Makna orisinal istilah sekularisasi, yaitu, “penghapusan wilayah kekuasaan dari kendali wewenang rohaniawan”, ini menunjukkan pemisahan institusi gereja dan agama. Tahap ini dikenal sebagai sekularisme objektif. Sedangkan sekularisme subjektif adalah profanasi menyangkut kebiasaan kultural dan persepsi personal oleh hal-hal yang profan. Pandangan ini kemudian dikenal sebagai sekularisme.”
“Dalam pandangan Soroush, sekularisme telah dipahami sebagai upaya sengaja untuk mengeluarkan agama dari urusan-urusan dunia. Sekularisme muncul dari dua sumber: pertumbuhan sains modern dan rasionalitas serta perubahan-perubahan yang mendalam pada makna dan hubungan antara hak dan kewajiban.”
“Apa perbedaan mendasar antara sekularisme politik dan sekularisme filosofis tersebut?”
“Secara umum, kita memiliki dua jenis sekularisme: sekularisme politik dan sekularisme filosofis. Sekularisme politik berarti kita memisahkan agama secara institusi dari politik. Dan negara menganggap semua kepercayaan dan agama adalah sama, mengakui kemajemukan agama dan memperlakukannya secara imparsial. Dalam pengertian ini, banyak orang beragama menganut sekularisme politik dan menyetujui imparsialitas politik semacam ini di hadapan beragamnya kepercayaan.”
“Dan sekularisme filosofis identik dengan atheisme dan kekurangpercayaan pada agama. Ini adalah semacam materialisme. Jenis sekularisme ini tidak bisa dikombinasikan dengan pemikiran keagamaan. Yang satu bergantung pada penegasan agama (sekularisme politik), dan yang satu lagi bergantung pada penolakan agama (sekuralisme filosofis), dan menggabungkan penegasan dan penolakan adalah tidak mungkin.”
“Sekularisme politik memiliki dua pilar, yakni: masalah legitimasi dan netralitas sistem politik dari agama dan mazhab pemikiran teoritis. Soroush mengatakan, “saya percaya bahwa legitimasi sistem bergantung pada keadilan, bukan pada jenis agama tertentu, dan sistem yang diterima berasal dari rakyat. Sedangkan mengenai netralitas negara terhadap berbagai agama dan kepercayaan adalah semua orang memiliki hak yang sama”.
“Apa dampak sekularisme politik terhadap masyarakat?”
“Sekularisme politik menuntut pengakuan pluralisme agama dan prinsip netralitas negara. Masalah yang muncul, terutama di antara orang-orang Iran yang ekspatriat, adalah bahwa banyak dari orang-orang yang mengatakan mereka sekuler juga sekuler dalam kepercayaan mereka. Dengan kata lain, mereka tidak percaya pada spiritualitas dan agama. Tentu saja, mereka bebas menjadi seperti ini. Tetapi ketika mereka berbicara untuk membela sekularisme, sekularisme memiliki perasaan yang menakutkan bagi orang-orang Iran di negara mereka. Artinya, mereka berpikir bahwa menyerukan sekularisme berarti meninggalkan kepercayaan dan religiusitas mereka. Kesalahan dan ilusi ini harus diperbaiki.”
“Kekeliruan terbesar dari mereka yang mengaku sekularis adalah mereka juga sekular dalam keimanan. Dengan kata lain, mereka tidak percaya pada agama dan spriritualitas. Kekeliruan kebanyakan orang menganggap bahwa menyerukan sekularisme berarti meninggalkan keimanan dan religiusitas. Sekularisme politik tidak menolak sipritualitas dan agama. Tidak seperti sekularisme filosofis yang menyingkirkan dan curiga pada spritualitas dan agama. Sekularisme politik memberikan masa depan yang cerah bagi relasi agama dan kekuasaan. Dalam prakteknya di dunia, sekularisme bukanlah sesuatu yang yang dirancang atau direkomendasikan terlebih dahulu oleh individu atau pun kelompok. Sekularisme yang dipaksakan seperti sekularisme Turki pada zaman Kemal Attaturk mengalami kegagalan. Pengalaman Eropa menunjukkan bahwa sekularisme terjadi akibat konsekuensi logis dari bentrokan antara agama dan sains. Pemisahan agama dan politik itu terjadi secara alamiah.”
“Pemerintahan sekular jangan didefinisikan hanya dengan apa yang sebenarnya bukan identitasnya, yakni pemerintahan non-agama, melainkan dengan apa yang sebenarnya, yakni satu pemerintahan yang siap dikritik, diperiksa, dan disesuaikan. Jadi, kita bisa mendefinisikan sekularisme sebagai suatu rezim yang pemerintahannya tidak mempunyai nilai atau kaidah-kaidah yang berada di luar penilaian atau verifikasi manusia, dan tidak ada protokol, status, posisi, atau ordonansi yang tidak bisa diawasi publik. Segala sesuatu terbuka terhadap kritik, dari kepala negara hingga tata cara pemerintahan dan arah penentuan kebijakan. Inilah makna sekularisme. Sebenarnya, ketika politik tidak disakralkan (yaitu, ketika politik menjadi rasional dan ilmiah), sedangkan agama disakralkan, keduanya terpisah. Inilah makna dan alasan pemisahan agama dan negara di masyarakat sekular”.
Palembang, 04 Oktober 2024
Gesah Politik Jaringan Aliansi Rakyat Independen
Ade Indra Chaniago – Indra Darmawan K