Rekomendasi LKPHM untuk Memilih Pasangan HDCU Tidak Wajib
Oleh Ade Indra Chaniago
emokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan di mana segenap rakyat ikut serta memerintah melalui wakil-wakilnya dalam lembaga pemerintahan. Demokrasi sering disebut juga sebagai pemerintahan rakyat. Tata pemerintahan dan negaranya berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi mengutamakan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Namun apa jadinya jika rakyat kembali melakukan kesalahan dalam memilih pemimpin? diduga ada pihak ketiga yang menikmati hasilnya. Sungguh teramat sayang, nilai kebenaran terpinggirkan, dan rakyat dipastikan akan menerima pahitnya buah janji-janji kampanye.
Ada hal yang menarik pagi ini ketika membaca rekomendasi LKPHM yang viral dan menjadi diskusi dibeberapa group WhatsApp terkait dengan rekomendasinya untuk “Masyarakat Minangkabau” agar memilih pasangan HDCU dalam “Pemilihan Gubernur Sumsel” pada gelaran pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 November yang akan datang.
Rekomendasi dan dukungan tersebut disampaikan ketua umum LKPHM Eddy Agusdian SE, dalam silahturahmi tokoh -tokoh Minang yang diselenggarakan di Rumah ketua pembina LKPHM DR. Hj. Irzanita SH SE SKM MM MKes, Jalan Tasik Palembang, Minggu malam ( 1/9/2024).
Sebagai salah satu urang minang yang merantau di Sumatra Selatan ini, tergelitik beberapa pertanyaan yang harus saya sampaikan kepada urang minang khususnya yang berdomisili di Sumtera Selatan, agar dapat menimbang-nimbang sebelum mengambil keputusan siapa yang akan dipilih. Pertama, apakah orang-orang yang tergabung dalam LKPHM tersebut sudah merepresentasikan masyarakat minang secara keseluruhan, karena sepanjang yang saya tahu mayoritas adalah urang minang yang berasal dari pariaman yang tergabung dalam PKDP saja, sementara masyarakat minang sendiri terdiri dari banyak kabupaten maupun kota sebagaimana kabupaten kota di Sumatra Selatan.
Kedua, apa dasar atau motif dari rekomendasi tersebut, karena buat saya secara pribadi agak aneh ketika ada organisasi yang katanya mewadahi orang-orang minangkabau memberikan dukungan kepada Calon Gubernur yang pernah melaporkan salah seorang urang minang ke Polda Sumsel terkait dengan statement bahwa “Sumsel tidak butuh Gubernur Pembohong, Penghianat dan Penipu” pada saat aksi demonstrasi, yang dilakukan sehubungan dengan janji politik sang gubernur yang saat ini kembali mencalonkan diri untuk periode kedua, yang diantara janji politiknya yang tidak terbukti, menyatakan bahwa “Kalau Saya Jadi Gubernur Sekolah dan Berobat Gratis Cukup dengan modal KTP”. Namun faktanya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
Saya berharap, apa yang saya sampaikan tersebut dapat jadi bahan pertimbangan bagi seluruh urang minangkabau di Sumatra Selatan dalam mengambil keputusan, karena modal seorang pemimpin tidak cukup hanya dengan sebatas ramah, murah senyum dan akrab sajà. Selain itu, terkait dengan rekomendasi tersebut, tidak ada kewajiban dan sanksi bagi kita semua khususnya urang minang ketika kita tidak ikut mematuhinya.
Kebahagiaan tentu bukan tujuan politik, karena itu adalah sebuah hal yang sia-sia. Tujuan politik adalah kebebasan, artinya tidak tunduk pada kekuasaan sewenang-wenang dan ingkar janji kepada pihak lain. Saat ini, komitmen pemimpin terhadap masyarakatnya dipandang dengan rasa kasihan, sementara orang-orang yang mengejar kepentingannya sendiri, yang menjunjung tinggi kemewahan, kekayaan, dan ketenaran serta mengabaikan kebajikan, dikagumi.
Ini sebagai kegagalan pemimpin yang sangat fatal. Para politisi tidak lagi dipilih karena kebajikan mereka, namun karena popularitas mereka, maka akhir dari politik sudah dekat. Oleh karena itu, masyarakat juga harus menyadari apa sebenarnya yang tercakup dalam kebajikan tersebut.’