Gelitik JARI : Dua Kualifikasi Pemimpin Menurut Ibnu Taimiyah

Gelitik JARI : Dua Kualifikasi Pemimpin Menurut Ibnu Taimiyah

bnu Taimiyah bernama lengkap Taqiyuddin ibn Halim ibn Taimiyah. Ayahnya, adalah ulama mazhab Hambali yang selalu berbeda pendapat, baik dengan ulama-ulama mazhab lain maupun dengan penguasa. Karena itu ayahnya dipenjara dan meninggal dunia di penjara.

“Bagaimana Ibnu Taimiyah dikenal?”
“Ibnu Taimiyah muncul sebagai seorang intelektual independen dengan gaya apa adanya, polemis, dan kontroversial. Ibnu Taimiyah dalam salah satu ungkapannya berucap bahwa untuk mengatur urusan umat memang merupakan bagian dari kewajiban agama yang terpenting. Tetapi hal ini bukan berarti juga bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Oleh sebab itu, Ibnu Taimiyah menolak ijma` sebagai landasan kewajiban tersebut.”

“Ibnu Taimiyah lebih menekankan pada pendekatan sosiologis : kesejahteraan manusia tidak akan terlahir kecuali hanya dalam satu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung pada yang lainnya. Maka dari itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut”.

“Mengapa Ibnu Taimiyah menggagas konsepsi al-syawkah?”
“Dalam pemikiran Ibnu Taimiyah, ahl al-syawkah adalah orang-orang yang berasal dari berbagai golongan dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Ahl al-syawkah inilah yang memilih kepala negara dan melakukan sumpah setia (bay`ah) untuk kemudian diikuti oleh rakyat. Sementara ahl al-hall wa al`aqd tidak pernah mencerminkan diri sebagai representasi suara rakyat, sebab yang menentukan wakil rakyat adalah kepala negara. Ibnu Taimiyah mengkhawatirkan bahwa konsep ini akan melahirkan semacam lembaga kependetaan seperti dalam Syi’ah dan ajaran Kristen serta menghilangkan hak-hak rakyat untuk memilih imam (kepala negara)”.

“Lalu seperti apa kriteria pemimpin menurut dia?”
“Dia menetapkan syarat kejujuran (amânah) dan kewibawaan atau kekuatan (al-quwwah) bagi seorang kandidat pemimpin/kepala negara dan tidak memutlakkan suku Quraisy, serta asas profesionalisme. Pemimpin/Kepala negara harus menempatkan pejabat-pejabatnya sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing.”

“Kewibawaan atau kekuatan memegang peranan penting bagi seorang pemimpin/kepala negara dalam membimbing dan mengayomi masyarakat. Dan kewajiban pemimpin/kepala negara adalah menegakkan institusi-institusi amar ma`rûf nahi munkar, sehingga nilai-nilai Islami dapat terwujud dalam kehidupan umat Islam dan hak-hak individu terjamin dalam masyarakat.”

“Dia juga menolak keras gagasan al-Mawardi tentang legalitas kepala negara berdasarkan dipilih oleh satu, dua, atau empat orang saja. Konsekuensi dari praktik-praktik tersebut tentu akan mengarah pada pembenaran kepala negara yang naik ke tampuk kekuasaan melalui cara-cara paksa yang inkonstitusional”.

“Kriteria itu apa masih ada di zaman now?”
“Nah, untuk itu Ibnu Taimiyah sendiri mengakui bahwa sedikit sekali pemimpin yang mempunyai dua kualifikasi tersebut sekaligus. Maka dari itu, bila terdapat dua orang kandidat atau lebih yang hanya memiliki salah satu syarat tersebut, maka yang lebih diutamakan adalah kandidat yang kuat dan berwibawa. Ibnu Taimiyah mengutip pendapat Ahmad bin Hanbal, bahwa kalau seorang pemimpin/kepala negara baik (saleh) tetapi lemah, maka kebaikannya hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kelemahannya sangat berbahaya bagi negara dan masyarakatnya. Sebaliknya, kalau ia kuat dan berwibawa, meskipun jahat, maka kekuatannya akan sangat berguna bagi negara dan masyarakatnya, sementara kejahatannya kembali kepadanya”.

“Bagaimana masyarakat bersikap terhadap pemimpin/kepala negaranya?”
“Seperti halnya al-Mawardi dan al-Ghazali, Ibnu Taimiyah memandang figur kepala negara memegang posisi sentral dalam Negara dan harus ditaati, meskipun kepala negara zalim. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, sebuah negara yang zalim lebih baik daripada tidak punya pimpinan meski semalam. Ibnu Taimiyah sejalan dengan al-Ghazali bahwa kepala negara adalah “bayang-bayang Allah di muka bumi” (zhill Allâh fi al-ardh).”

“Pemberontakan terhadap kezaliman kepala negara dinilai Ibnu Taimiyah dapat memancing kezaliman yang lebih besar, karena akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Untuk itu perlunya persatuan keluarga besar Islam, kompak dan solid, tanpa melepaskan batas-batas teritorial. Jika kita perhatikan, apabila dihubungkan dengan kondisi sosio-politik dan historis semasa hidupnya”.

“Apakah Paradigma ini merupakan refleksi melemahnya kepemimpinan Bani Abbasiyah dan konflik internal kekuasaan, kehidupan politik umat Islam pada waktu itu mengalami disintegrasi?”
“Sepertinya demikian. Di sisi lain, juga terlihat Ibnu Taimiyah lebih konservatif dari al-Mawardi yang masih mengisyaratkan pemakzulan (impeachment) terhadap kepala negara dari jabatannya. Justru terkesan ia memberi kesempatan terbukanya pintu otoritarianisme di dalam tubuh pemerintahan umat Islam. Hal ini tentu bertentangan dengan pemikirannya mengenai pengangkatan kepala negara melalui ahl al-syawkah.”

“Di samping itu, ia juga tidak menjelaskan sama sekali peranan ahl al-syawkah dalam mengontrol kepala negara. Mengutip pendapat buya Syafii Maarif, desakan Ibnu Taimiyah terhadap kepatuhan pada kepala negara secara implisit telah merenggut hak umat untuk ikut serta dalam mekanisme syûrâ. Bahkan, nampak pemikiran politik Ibnu Taimiyah tidak dilakukan usaha yang sungguh-sungguh dalam membangun di atas landasan syûrâ. Selain itu, pemikirannya ini juga terkesan paradoks dengan amr ma`rûf nahi munkar dalam negara, sebagaimana sering dijelaskannya dalam beberapa karangannya (Ahmad Syafii Maarif, 1985: 40)”.

Palembang, 06 Oktober 2024
Gesah Politik Jaringan Aliansi Rakyat Independen
Ade Indra Chaniago – Indra Darmawan K