Jalan Panjang Indonesia Tidak Seperti yang Kita Inginkan?
(Bercermin Dari Kasus Pembubaran Diskusi FTA)
MN LAPONG – PRRI-PPMI-ForJIS-JARI
anyak masalah di negeri penuh harapan zamrud khatulistiwa yang kaya raya ini seperti awan gelap yang menggantung menutupi penghuni negeri ini. Seperti kredo yang menjadi sebuah kutukan, apa yang diyakini Bung Karno atas kesangsianya terhadap nasib bangsa ini kedepan, bahwa lahirnya “penjajah yang menjajah bangsanya sendiri.”
Awan gelap yang menggantung menutupi negeri ini sepertinya semakin tebal menghantui kita semua. Entah kapan awan gelap itu pecah, turun menjadi hujan lebat yang menghapus panas bertahun – tahun. Wajah anak – anak negeri telah lama cemas dan risau, mendera kehidupan mereka, dan anak cucunya yang semakin tak menentu diatas keperkasaan sekelompok manusia – manusia yang mengendalikan anak negeri dengan tamaknya bercampur perangai curiga dan benci kepada sesama anak bangsa.
Kemarin baru saja bangsa ini dihebohkan oleh sekelompok “perusuh” dari perangai anak negeri yang menjadi “suruhan” kebencian para penjahat (penjajah seperti istilah/kredo Bung Karno di-atas), mereka mengacak – acak dengan brutal acara diskusi Forum Tanah Air (FTA) yang di dalamnya ada Din Syamsudin dkk-nya.
FTA yang merupakan salah satu forum yang saya definisikan sebagai kelompok aktivis akal sehat yang mencoba menjalin pertengkaran ide – ide, yang dalam pikiran seorang Tan Malaka disebutnya sebagai dialektika tesis anti tesis dalam mengedukasi warga bangsa, yang saya katakan sepenuhnya belum menjadi seperti Indonesia yang kita inginkan ?
Baru saja kita memperingati 79 Tahun Dirgahayu Republik Indonesia, di dalam rentan waktu Era Orde Lama 22 Tahun, Era Orde Baru 32 Tahun, dan Era Reformasi berjalan 25 Tahun, semua itu berjalan dalam keadilan dan kesejahteraan yang tertatih – tatih, berdarah karena masih ada darah yang tumpah dari anak negeri, menindas karena masih banyak anak negeri menangis dalam kepiluan karena tercabut dari tanah kehidupannya sebagai harapan satu – satunya yang menyatukan mereka dengan harapan kemerdekaan Negeri ini. Harapan itu semua seakan tercabut yang menimbulkan tanya “Apakah Negara Republik Indonesia Masih Milik anak negeri bangsa Indonesia?”.
Kadang sering kita menyaksikan betapa tingginya tuntutan penguasa negeri oleh negara terhadap pentingnya sila ke-1 Ketuhanan YME, sila ke-3 Persatuan Indonesia, dan sila ke-4 atas kegangrungan Penguasa Negeri dan Kroninya berkhikmad memilih pemimpin sesuai selera mereka … Tetapi Mereka sangat abai bahkan menghalau Hak Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab sila ke-2 dari anak negeri, demikian pula Hak Rakyat pada Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sila ke-5.
Peristiwa “Perusuh” dari yang di “suruh” oleh kepentingan kelompok status quo yang berperangai layaknya penjajah anak negeri, sama seperti yang dialami oleh pengusiran paksa rakyat anak negeri di Pulau Rempang Batam, Sebelumnya kasus “Wadas dan Gengden Jawa Tengah”, dan banyak lagi kasus sejenis itu yang tersebar di seantero negeri seperti kasus Tambang di Maluku Utara, Sulawesi Tengah dll. Demikian pula misalnya kasus kejahatan Hukum yang merenggut nyawa Vina, kasus Putusan MK soal Gibran dan Kasus Putusan MA Soal Kaesang, semua itu adalah menjadi Kredo seperti yang menjadi kesangsian Bung Karno Atas nasib bangsa ini, “Bangsa yang dijajah Oleh bangsanya sendiri.”
Rakyat menatap langit, masih jelas “Awan Gelap” masih menggantung diatas langit Indonesia.
Kita semua berharap kepada Presiden Baru Indonesia Prabowo Subianto, kiranya mampu memberi aura cahaya putih kepada awan gelap yang menggantung di langit Indonesia?.
Kedukaan yang gelap selama ini berganti dengan cahaya sinar terang yang memberi secercah kebahagian nyata kepada setiap anak negeri.
Semoga !
Dan tak ada lagi perusuh yang membubarkan diskusi diskusi akal sehat.
TAM, 30 September 2024