JAKARTA − Anggota Badan Legislatif (Baleg) Fraksi PAN Yandri Susanto mengatakan tak ada alasan subtantif saat lembaga legislatif tersebut menolak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia calon peserta Pilkada. Dia juga mengklaim tak ada alasan khusus DPR lebih memilih menjalankan putusan Mahkamah Agung pada draf revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah atau RUU Pilkada.
“Perdebatannya tidak terlalu banyak tadi. Ya itu kan pilihan saja.” kata Yandri kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Rabu (21/8/2024)
Sebelumnya, MA mengeluarkan putusan yang isinya menetapkan batas usia calon kepala daerah pada Pilkada 2024 dihitung pada saat dilantik. Sehingga, calon harus berusia minimal 30 tahun saat dilantik menjadi gubernur atau wakil gubernur; dan minimal 25 tahun saat dilantik menjadi wali kota, wakil wali kota, bupati, atau wakil bupati.
Putusan ini sempat menjadi polemik karena dianggap menjadi karpet merah kedua bagi klan atau keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi), yaitu Kaesang Pangarep. Putra bungsu Jokowi tersebut baru akan genap 30 tahun pada Desember 2024. Padahal, sesuai UU Pilkada, calon harus genap 30 tahun saat mendaftar ke KPU yaitu 27-29 Agustus 2024.
Putusan MA akan menjadi dasar bagi Kaesang maju ke Pilkada tingkat provinsi tanpa terjegal aturan usia.
Sedangkan MK kemudian mengeluarkan putusan yang menegasi MA. Dalam putusannya, MK menetapkan batas usia calon peserta Pilkada dihitung bukan saat dilantik, tapi saat mendaftar ke KPU. Putusan ini berpotensi menjegal rencana koalisi gemuk pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto untuk mengusung Kaesang Pangarep.
MK sendiri adalah lembaga penegak konstitusi yang memiliki putusan bersifat final dan mengikat. Artinya, tak ada langkah hukum lain yang bisa ditempuh untuk menghapus putusan MK. Selain itu, putusan tersebut wajib dilaksanakan oleh seluruh lembaga yang terkait dengan putusan tersebut.
Namun, DPR memilih menjalankan putusan MA dalam pembahasan draf RUU Pilkada.
“Dengan adanya 2 putusan itu, tentu Pemerintah dan DPR yang diberi mandat oleh Undang-Undang Dasar sebagai pembuat Undang-Undang Dasar tentu harus memilih diantara 2 putusan yang diputuskan oleh 2 lembaga hukum,” kata Yandri.
“Ketika Pemerintah dan DPR dimandatkan untuk membuat undang-undang, ya sah itu.” [Fik]