Amnesty Internasional Indonesia mendukung tuntutan warga eksil di Eropa yang menuntut pemerintah meminta maaf atas pelanggaran HAM peristiwa 1965.
− Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyesalkan respons perwakilan pemerintah atas tuntutan warga eksil di Eropa agar pemerintah meminta maaf atas pelanggaran HAM peristiwa 1965. Hal ini menyikapi pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang tidak memenuhi tuntutan Sungkono, warga eksil tamatan Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa, Moskow.
Menurut Usman, respons tersebut menunjukkan perwakilan pemerintah kurang memahami tanggung jawab negara, baik menurut hukum internasional maupun hukum nasional. Selain itu, respons tersebut tidak sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyesalkan pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Saya kira itu hanya memperlihatkan bahwa kehendak politik atau political will dari pemerintahan masih sangat rendah,” ujar Usman Hamid, Senin (28/8).
Usman menyayangkan perwakilan pemerintah yang terlihat sinis terhadap suara-suara korban dan menolak harapan warga eksil. Ditambah lagi, pemerintah terlihat terjebak dalam sudut pandang jangka pendek yaitu menjaga stabilitas karena khawatir dengan penolakan kelompok tertentu atas permintaan maaf tersebut.
“Saya mendukung sepenuhnya harapan para eksil 1965 tentang perlunya permintaan maaf dari negara yang dilanjutkan dengan pengungkapan kebenaran dan juga proses penegakan keadilan,” tambahnya.
Usman juga mengkritik pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyudutkan para eksil dengan meminta mereka menyebutkan pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu agar dapat diproses. Menurutnya, pemerintah semestinya dapat membuat kebijakan hukum dengan meminta Jaksa Agung membentuk penyidik proyustisia yang bersifat adhoc untuk melanjutkan penyelidikan Komnas HAM.
Selain itu, kata Usman, pemerintah semestinya menghapus produk-produk hukum yang diskriminatif seperti Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1978 tentang perlakuan terhadap tahanan politik golongan C atau orang yang dianggap kader PKI yang ikut-ikutan.
Menkopolhukam: “Minta Maaf pada Siapa?”
Minggu (27/8) siang, Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasonna H Laoly berdialog dengan warga eksil yang tersebar di sejumlah negara Eropa.
Dalam pertemuan tersebut, Sungkono, eksil tamatan Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa, Rusia, menyampaikan apresiasi atas pernyataan Presiden Joko Widodo yang telah mengakui dan menyesalkan berbagai pelanggaran HAM berat. Namun, ia juga mempertanyakan sikap presiden yang tidak meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM tersebut. Menurutnya, tanggung jawab negara tersebut harus dipikul oleh kepala negara yaitu presiden.
“Padahal budaya orang Indonesia itu, meminta maaf sudah hal biasa. Jalan cepat menubruk orang saja meminta maaf, ini kejahatan besar di suatu negara tapi tidak meminta maaf,” ujar Sungkono.
Merespons hal tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD mempertanyakan balik, siapa yang akan dimintai maaf oleh pemerintah. Ia beralasan rezim Orde Baru telah turun dan digantikan rezim reformasi. Selain itu, Mahfud juga mengklaim bahwa telah menjadi bagian korban dari orde baru dan ikut menumbangkan rezim tersebut.
“Pemerintah sekarang ini pemerintah reformasi yang memaksa pemerintah Orba turun. Lalu kita disuruh meminta maaf kepada siapa, kita sudah turunkan mereka yang seharusnya minta maaf. Itu terbalik,” tutur Mahfud di Belanda Minggu (27/8/2023) siang.
Mahfud menambahkan pemerintah juga telah berupaya membawa kasus pelanggaran HAM ke pengadilan melalui Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Kendati para terdakwa bebas dari hukuman. Selain itu, kata dia, para pelaku sebagian besar juga telah meninggal, karena itu pidana kasus tersebut tidak bisa diproses secara hukum.
Mahfud juga meminta kepada para eksil agar menyampaikan ke pemerintah jika menemukan pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu agar bisa diproses secara pidana .
“Bapak punya daftar pelakunya kasih ke saya, kita teruskan besok pulang, kita proses. Kalau punya daftar pelaku, saksi, menggunakan alat apa, dimana tempatnya,” tanya Mahfud kepada para eksil.
Mahfud juga menekankan pemerintah tidak mau memiliki sikap terkait sejarah tentang peristiwa 1965. Ia beralasan sikap tersebut tidak tepat karena rezim pemerintah akan selalu berganti. Namun demikian, pemerintah akan membantu penelitian sejarah tentang peristiwa 1965 dari berbagai versi agar dapat menjadi pembelajaran masyarakat. [Sm]