Polisi Tangkap 2 WNI yang meretas Kartu Kartu Kredit Warga Asing

JAKARTA − Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Adi Vivid Agustiadi Bachtiar mengatakan pihaknya berhasil mengungkap tindak pidana kasus akses ilegal peretasan kartu kredit untuk pembayaran secara elektronik di Jepang yang dilakukan oleh dua warga negara Indonesia.

Kedua tersangka laki-laki berusia 40 tahun, DK dan SB, diamankan di Jepang. “Telah diamankan di Jepang satu orang pelaku atas nama tersangka SB. Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan kita kembangkan dan mengamankan satu tersangka DK yang berada di Indonesia,” ungkap Brigjen Adi Vivid dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (8/8).

Kasus ini bermula dari laporan delapan warga negara Jepang kepada kepolisian setempat yang mendapatkan tagihan kartu kredit untuk pembelian barang elektronik yang tidak mereka beli di market place di Jepang bernama B-stock dan Sukumonetshop. Barang-barang tersebut kemudian dijual kembali oleh dua pelaku dalam kurun waktu 2021-2023.

Polisi Ungkap Piranti Peretasan Baru

Lebih jauh, Brigjen Adi Vivid mengatakan tersangka DK yang diketahui sebagai otak peretasan kartu kredit, membeli piranti peretasan dari “16shop” untuk meretas info kartu kredit dan akun lainnya seperti Apple, Paypal, Amazon serta American Express. Hanya dengan membayar ratusan ribu rupiah dari “16shop” si pelaku bisa mendapatkan informasi bagaimana caranya meretas kartu kredit dan akun-akun lainnya.

“Hacking tools ini merupakan akun untuk meretas akun-akun pembayaran elektronik internasional, hingga kartu kredit yang beroperasi di seluruh dunia. Jadi para pelaku ini beli melalui 16shop, nanti begitu mereka membeli, mereka akan mendapatkan instruksi kemudian di situ juga ada data tentang kartu kredit yang sudah di bobol oleh kelompok ini. Tapi saat ini 16shop sudah di block, sudah tidak ada lagi,” paparnya.

Dalam kasus ini, DK menugaskan SB untuk menghidupkan komputer di Jepang, untuk dioperasikan oleh DK dari Indonesia. Selanjutnya, DK meretas akun-akun di market place di Jepang, dengan total kerugian mencaapai Rp1,6 miliar.

“Setelah saudara SB menerima barang elektronik, dilakukan penjualan. Setelah penjualan dari total Rp1,6 miliar, Rp1 miliar dikirimkan ke DK, dan bagian SB Rp600 juta. Kemudian oleh saudara DK digunakan untuk kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Pelaku DK, dijerat pasal berlapis; antara lain pasal 46 ayat 1 , 2 dan 3 junto pasal 30 ayat 1,2 dan 3 UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

“Pasal ini adalah terkait dengan ilegal akses dengan ancaman hukuman penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp800 juta,” jelasnya.

Kedua, adalah pasal 48 ayat 1 junto pasal 32 ayat 1 UU ITE. Ini terkait dengan modifikasi informasi dan dokumen elektronik yang terancam hukuman penjara paling lama delapan tahun, dan denda paling banyak Rp2 miliar.

“Lalu juga dijerat dengan pasal 51 ayat 1, junto pasal 35 UU ITE, yang terkait dengan manipulasi data seolah-olah data tersebut data yang otentik. Ancaman hukuman penjara paling lama 12 tahun, dan denda paling banyak Rp12 miliar. Terakhir, pasal pidana umum yaitu pasal 363 KUHP yang terlkait dengan pencurian dan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun,” paparnya.

Kepolisian Imbau Warga Lebih Waspada, Ganti PIN Kartu Kredit Berkala

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Dani Kustoni mengimbau masyarakat agar lebih waspada dan berhati-hati.

Hal paling penting yang harus dilakukan warga adalah mengubah PIN atau password secara berkala di kartu kredit dan akun-akun lain agar tidak mudah diretas.

“Kedua, juga diwaspadai ketika kita melakukan transaksi online. Jangan mudah untuk mengklik akun ataupun tautan yang sembarang atau tidak kita kenal atau pun mungkin bentuk-bentuk lain, seperti contoh ada penawaran dengan lebih murah dari harga pasaran sehingga kita tertarik. Kemudian pada saat itu kita lengah untuk memasukkan password maupun identitas lainnya yang justru akan memudahkan pelaku kejahatan melakukan peretasan,” ungkap Dani.

Ketiga, tambah Dani, mengaktifkan layanan pemberitahuan dari bank atau kartu kredit yang dimiliki ketika sedang melakukan sebuah transaksi. Dengan begitu, masyarakat pun akan mengetahui jika ada sebuah transaksi pembelian yang tidak mereka lakukan.

“Terakhir, gunakanlah jaringan yang sifatnya private, tidak menggunakan wifi yang sifatnya terbuka. Biasanya ketika kita ke tempat-tempat publik seperti tempat yang ada wifi gratis, kita harus waspada. tidak mudah melakukan transaksi online dengan wifi sehingga identitas kita tidak mudah diretas oleh pelaku kejahatan,” pungkasnya. [Gi/Atr]