KOMPAS FAKTA Dunia saat ini tengah gencar berupaya melakukan perpindahan energi berbasis fosil ke energi terbarukan. Salah satu transportasi dari kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM) menjadi kendaraan listrik. Indonesia memiliki sumber daya alam di sektor pertambangan. Sebagai negara memiliki sumber daya nikel terbesar dunia berupaya menangkap peluang. Melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kemudian membentuk perusahaan Holding baterai bernama Indonesia Battery Corporation (IBC) atau PT Industri Baterai Indonesia yang baru dilakukan Groundbreaking oleh Presiden Jokowi.
Dukunganpun mulai bermunculan seperti yang disampaikan oleh Pengamat BUMN Kiki Rizki Yoctavian. “Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erick Thohir punya rencana bagus dan layak untuk didukung. Roadmap Kementerian BUMN semakin jelas dalam usaha pertambangan dan industri ini. Akan tetapi rencana untuk menjadi pemain baterai dunia, mereka memerlukan dukungan penuh berupa kebijakan dan insentif dari pemerintah. Seperti kemudahan dalam perizinan, diskon royalti dan Penetapan batas atas tarif tenaga listrik”, ujar pengamat BUMN yang pernah menjadi Komisaris di PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk periode 2015-2020.
“Diskon royalti untuk bijih nikel limonit untuk bahan baku EV Battery saat ini masih belum disetujui Kementerian ESDM. Ini perlu menjadi perhatian yang serius karena bijih nikel kadar rendah di bawah 1,5% ini yang digunakan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik (EV) atau Energy Storage System (ESS). Dengan adanya diskon ini tentunya akan membangkitkan gairah pelaku usaha baik itu BUMN maupun swasta”, terang kiki yang juga Aktivis 98 dari PENA98.
“Presiden Jokowi juga sudah mengatakan akan berkomitmen penuh untuk memberikan dukungan dan pengembangan terhadap ekosistem industri baterai dan kendaraan listrik. BUMN yang terlibat dalam IBC tentunya sangat memerlukan diskon royalti dan intensif. Bisnis tentunya harus memiliki kepastian terkait kebijakan dan peraturan dari pemerintah. Jangan sampai investasi yang besar gagal karena sinergi yang kurang antara kebijakan dan pelaku usaha. Sebaiknya Kementerian ESDM melalui Dirjen Minerba untuk segera melakukan kajian dan memberikan kepastian terkait hal itu”, sambut Kiki Rizki Yoctavian.(Riyo)