Indonesia akan mencabut kebijakan moratorium atau penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia ke negara kawasan Timur Tengah.
JAKARTA − Setelah hampir delapan tahun Pemerintah Indonesia menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia ke negara Timur Tengah, kini pemerintah menyatakan akan mencabut kebijakan tersebut.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan sebagai langkah awal, lembaganya sedang menyelesaikan aturan mengenai pencabutan moratorium tersebut. Kebijakan ini menandai penempatan pekerja migran Indonesia ke kawasan Timur Tengah kembali dibuka.
Menurutnya, pembukaan kembali penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke negara kawasan Timur Tengah akan sepenuhnya mengikuti mekanisme dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Fokus utama dalam melakukan pengiriman tersebut tambahnya adalah memberikan perlindungan terhadap mereka. Karena itu ada beberapa syarat yang harus dilengkapi sesuai UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Negara penempatan memiliki undang-undang yang terkait perlindungan tenaga kerja asing. Jadi mereka harus memiliki semacam hukum yang memberikan perlindungan kepada tenaga kerja asing,” kata Anwar kepada VOA, Sabtu (26/8).
Apabila negara tujuan tidak mempunyai undang-undang perlindungan pekerja asing maka tegas Anwar, negara itu harus memiliki perjanjian kerja sama dengan Indonesia yang isinya memastikan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia.
Syarat lainnya yang harus ada lanjutnya adalah mengenai perlindungan sosial ketenagakerjaan, sehingga asuransi ketenagakerjaan harus diutamakan.
Dia mengatakan pemerintah sudah mulai berkomunikasi dengan negara-negara di Timur Tengah yang menjadi tujuan penempatan pekerja migran Indonesia termasuk dengan Arab Saudi.
Pemerintah Lakukan Sejumlah Perbaikan
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, Rabu (23/8), menjelaskan pemerintah melakukan beberapa perbaikan, di antaranya mencabut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.
Terkait dengan penempatan ke Timur Tengah khususnya Arab Saudi, Ida juga mencabut Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) No.291/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK).
Langkah itu bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk dapat mengikuti SPSK yakni dengan mengubah persyaratan P3MI yang dapat ikut serta dalam program SPSK penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik di Arab Saudi.
Dualisme aturan
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo mengatakan keputusan menteri tenaga kerja soal penghentian pengiriman pekerja migran ke Timur Tengah pada 2015 sudah pantas untuk dicabut karena menimbulkan komplikasi yang serius.
“Karena ada dualisme aturan, yaitu satu melarang tapi satu ada penempatan satu kanal. Itu menimbulkan kebingungan di akar rumput. Kritik kami memang pemerintah dulu hanya menerapkan moratorium tapi tidak melakukan pengetatan pengawasan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, dia menekankan keputusan moratorium pengiriman pekerja migran ke Timur Tengah selama ini tidak berjalan efektif. Menurutnya yang terjadi justru meningkatnya kasus perdagangan orang ke Timur Tengah karena aturannya ditutup tapi pasar gelar pekerja migran ke Timur Tengah masih sangat tinggi sekali.
Wahyu menyarankan pemerintah menyiapkan calon pekerja migran dan melakukan diplomasi perlindungan dengan negara-negara di Timur Tengah. Kemudian mendorong adanya perjanjian perlindungan pekerja migran Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah.
Perlu Aturan Tegas
Wakil Ketua Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati mengatakan pencabutan moratorium itu wajib diiringi dengan tegasnya peraturan bagi perlindungan pekerja migran yang akan bekerja di Timur Tengah.
Pembukaan moratorium ini tambahnya baik untuk memberi kesempatan kepada pekerja migran Indonesia agar terbuka kesempatan luas bekerja di luar negeri secara prosedural. Sebab, lanjutnya, lahirnya moratorium merespon banyaknya tindakan pelanggaran hak pekerja migran Indonesia, jam kerja yang berlebihan, upah yang tidak adil hingga situasi kerja yang tidak aman.
Menurutnya penting bagi pemerintah untuk memastikan langkah ini tidak akan membahayakan hak dan kesejahteraan pekerja migran. Langkah-langkah perlindungan yang kuat harus diimplementasikan termasuk pengawasan yang lebih ketat terhadap kondisi kerja dan perlakuan terhadap pekerja migran. [Fw/Ab]