Ke Negeri Bugis, Anies Baswedan Jangan Anaktirikan Aspirasi Rakyat Pemilik Badik ‘Terbesar di Dunia’

 JAKARTA – Wajah Daeng Guntur sumringah begitu mendengar bahwa Calon Presiden Anies Baswedan tiba di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Rabu, 17 Januari 2024 ini.

“Ededee, sayang na’ (baca: sayang sekali, ya?). Kenapa tena (tidak) ke Luwu,” katanya via panggilan video WhatsApp, Rabu ini.

Sambil berbicara dengan suara lirih, lelaki berusia hampir 70-an tahun ini, mengarahkan kamera smartphone-nya ke arah sebuah tugu unik yang menjulang tinggi sekitar 100 meter.

Berdiri di halaman kompleks Istana Kedatuan Luwu, Kelurahan Wara, Palopo, kota terbesar kedua di Sulsel, sebuah bekas kerajaan Bugis berwilayah paling luas.

Tugu ini berupa tangan kanan yang memegang sebilah badik mengarah ke langit sehingga menjadi ‘badik paling besar di dunia’, yang dibangun pada 23 Januari 1948.

Tangan coklat keemasan yang memegang badik ke arah langit ini bertuliskan di bawahnya: Toddo’puli’ Temmalara’ (Keberanian untuk Memperjuangkan Kebenaran).

Sebagai simbol perlawanan rakyat Luwu melawan penjajahan Belanda, tugu badik ini memang melambangkan keperkasaan raja-raja Luwu, yang sekarang dijabat oleh Datu Luwu XL, yakni Andi Maradang Mackulau, sosok kharismatis yang tak pernah berhenti memperjuangkan berdirinya Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Luwu Raya, yang artinya berpisah dari Sulsel.

Guntur sendiri bukanlah warga asli Palopo, wilayah yang pada masa lalu adalah pusat pemerintah Kerajaan (Kedatuan) Luwu. Mantan jagoan ‘main’ badik ini adalah to (orang) Bugis pesisir, yang puluhan tahun tinggal dan menikahi wanita asli Palopo.

“Toddo’puli’ Temmalara, juga adalah semangat to Luwu untuk terus memperjuangkan berdirinya Provinsi Luwu Raya. Di dua kali era pemerintahan Gubernur Syahrul Yasin Limpo, yang bukan orang Luwu, suara-suara pemekaran ini seakan bungkam,” kata Ketua DPD Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI) Kota Palopo ini.

To Luwu berharap agar Anies Baswedan saban berkunjung ke Sulsel, sebaiknya juga mendatangi wilayah eks Kedatuan Luwu, yang terdiri dari Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara (Lutra), dan Kabupaten Luwu Timur (Lutim).

“Jangan sampai wilayah Luwu seakan dianaktirikan, dan perjuangan DOB Luwu Raya tak diperhatikan. Ingat, suplai beras, pertambangan besi dan nikel serta rumput laut telah menjadikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sulsel tergolong diperhitungkan di negara ini,” kata Guntur.

Selama masa keemasannya di era pra-kemerdekaan Indonesia, wilayah pemerintahan Kedatuan Luwu membentang hingga sebagian Pulau Sulawesi, tepatnya Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Tenggara (Sultra).

Di Sulteng, sisa-sisa kejayaan kedatuan ini terlihat lewat keberadaan Kota Luwuk, yang juga diklaim bakal menjadi DOB bernama Provinsi Sulawesi Timur, bersaing dengan tetangganya, Kota Poso.

“Makanya Pak Anies juga harus sering-sering ke Luwu. Bukan memfokuskan kunjungan ke kawasan-kawasan pesisir, alih-alih kampung halamannya Pak Yusuf Kalla, Pak Yasin atau kampung halaman ibunya BJ Habibie” lanjut Guntur.

Secara terpisah Datu Luwu yang pernah ditemui KBA News dan Palopo Tv mengakui suburnya Tanahluwu. “Apa pun yang disenami atau ditanam di tanah ini, akan tumbuh subur dan menghasilkan panen berlimpah,” katanya menjelang kunjungan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika itu di Palopo.

Senada itu, Baharman Supri, pejuang Provinsi Luwu Raya yang juga Fungsionaris Partai Golkar Palopo menegaskan, perjuangan DOB tersebut tak akan pernah berhenti. “Sampai kapan pun,” tegasnya.

Bahwa wilayah eks Kedatuan Luwu seakan dianaktirikan dalam proses pembangunan di Sulsel sehingga muncul wacana DOB, konon, tak lepas pula dari ‘luka negara masa lalu’ lewat pemberontakan Daeng Kahar Mudzakkar.

Luwu adalah kampung halaman tokoh kharismatis to Luwu, yang juga dikenal sebagai seorang Pejuang Kemerdekaan RI yang kontroversial.

Kahar berasal dari keluarga pedagang yang berkecukupan, dan juga disegani sebagai keluarga pemberani di lingkungan masyarakat tempat kelahirannya.

Bernama lengkap Abdul Qahhar Mudzakkar. Di masa kecilnya, Kahar sering dipanggil dengan sebutan Ladomeng karena sangat suka bermain domino alias gaple.

Kahar lahir di Kampung Lanipa, Distrik Ponrang (sekarang kecamatan wilayah Kabupaten Luwu) pada 24 Maret 1921. Anak dari keluarga pedagang yang cukup kaya dan terpandang, ayah Kahar bernama Malinrang, sementara ibunya bernama Kaesang.

Kahar menyelesaikan pendidikannya di sekolah rakyat, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Solo dan masuk Sekolah Muallimin milik Muhammadiyah.

Putri Kaesang yang Dibuang Keluarga karena Nikahi Wanita Solo

Namun, masa studinya hanya berjalan tiga tahun karena Kahar terpikat dengan perempuan asal Solo dan menikahinya.

Selepas itu, Kahar kembali ke kampung halamannya di Lanipa. Keluarga besarnya gempar karena dia pulang membawa istri orang Jawa.
Dikisahkan, saat Jepang masuk ke Indonesia, Kahar sangat bahagia dan bersemangat. Dia berharap, Jepang bisa membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Saking semangatnya, Kahar rela mengayuh sepeda dari Luwu ke Rappang hanya untuk bertemu dengan pemimpin pasukan Jepang.

Selama Jepang berkedudukan di Sulsel, Kahar bekerja sebagai pegawai Nippon Dohopo milik Jepang di Makassar.

Tetapi, keluarga besarnya menuduh Kahar sebagai pemicu permusuhan di kalangan kaum bangsawan Luwu, sehingga dia dikenai hukum adat yakni ri-paoppangi tana, yang berarti diusir dari tanah kelahirannya.

Dia pun kembali ke Solo untuk mendirikan perusahaan dagang yang diberi nama Usaha Semangat Muda.

Seiring waktu berjalan, Kahar meluaskan usahanya ke Jakarta dengan mendirikan Toko Luwu. Di toko ini beberapa kali Kahar mengadakan pertemuan politik.
Setelah Kemerdekaan, Kahar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (Gepis) lalu berubah menjadi Angkatan Muda Indonesia Sulawesi (APIS). Gerakan ini termasuk dalam bagian Angkatan Pemuda Indonesia (API).

Pada 19 September 1945, Kahar bersama API ikut terlibat dalam rapat besar Ikada. Pada rapat tersebut Kahar hanya bersenjatakan sebilah golok membela Soekarno dan Hatta dari kepungan tentara Jepang.
Dalam perkembangannya, APIS meleburkan diri ke dalam Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS). Namun, Kahar tak bertahan lama di dalamnya karena sedari awal dia menunjukkan ketidaksetujuannya dengan pergerakan tersebut.
Tetapi sebelum keluar, Kahar bersama KRIS sempat membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan. Sebagian besar tahanan itu adalah laskar yang berasal dari Bugis dan Makassar.

Laskar ini kemudian diberi pelatihan militer di Yogyakarta dan masuk menjadi bagian Angkatan Perang RI.

Karier militer Kahar mulai cerah ketika ia ditugaskan menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi. Kesatuan tentara di luar Jawa disatukan dalam Brigade XVI.

Tak lama dia mulai tersingkir oleh perwira-perwira yang mempunyai pendidikan formal kemiliteran. Dari sinilah awal mula munculnya permasalahan.
Pada 1950, Kahar sempat ditugaskan ke Sulsel, namun tidak pernah lagi kembali ke dalam lingkungan angkatan perang RI.

Kahar kemudian memutuskan menempuh jalannya sendiri karena merasa pengabdiannya tidak mendapatkan balasan sepadan.

Selain itu, kemarahannya makin memuncak ketika pemerintahan Presiden Soekarno menolak masyarakat Bugis-Makassar untuk bergabung dengan angkatan perang RI dalam suatu kesatuan mandiri bernama Hasanuddin.

Pada 7 Agustus 1954, Kahar bersama pengikutnya secara resmi menjadi bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Pada 1950-1952, Kahar melakukan pemberontakan sebagai wujud kekecewaan yang dialami. Namun pada 1953 hingga kematiannya, Kahar melakukan pemberontakan karena dilandasi oleh semangat keagamaan Islam.

Di awal dekade tahun 1950-an, gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar di Sulsel sempat menyulitkan aparat keamanan RI. Tapi seiring berjalannya waktu kekuatan Kahar semakin melemah,. namun tetap bertahan di hutan belantara hingga akhir hayatnya.

Dalam buku Sejarah Tertembaknya Kahar Muzakkar di Hutan karya A Wanua Tangke dan Anwar Nasyaruddin, dijelaskan bahwa pada 3 Februari 1965, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1386 H, Kahar tewas tertembak di tangan Kopral Sadeli di tepi Sungai Lasolo. Saat itu, tempat persembunyian Kahar bersama anggotanya di dalam hutan telah disergap pasukan Siliwangi.
Pamflet-pamflet kematiannya disebar menggunakan helikopter, membuat istri-istri dan keluarga Kahar Muzakkar yang berada di tengah hutan satu persatu menyerah.

Diketahui, Kahar memiliki beberapa istri, di antaranya Sitti Hamie, Corry van Stenus, Sitti Rawe, dan Sitti Hudayah.

Namun menurut Guntur, Kahar adalah orang sakti yang belum mati. “Ketika masa remaja, saya bekerja di rumah keluarga Daeng Kahar di Luwu. Saya pernah melihat sosok seseorang kakek yang mirip Daeng Kahar. Menurut keluarganya, itulah Kahar, tapi sejak itu, saya tak pernah melihatnya lagi,” kenang Guntur.

Menurut Guntur, Kahar tetap pahlawan to Luwu. “Jangan menjadi alasan untuk mengukur apalagi melupakan aspirasi to Luwu untuk Provinsi Luwu Raya,” tegas Guntur.

“…Aneku lelendaya, Lembata Tana Luwu, Njairi amadago, Kupampa lindo maoMau bemaramba. Uepa i tananya, Rodomo ine papa, Kuode kupotowe, Lembata Tana Luwu…”

(Selalu ku kenang Negeriku Tana Luwu yang indah dan permai, selalu terbayang di mukaku. Biar aku pergi jauh selalu ku kenang jua. Di sanalah tinggal ibu bapakku yang selalu kurindukan, Negeriku Tana Luwu)

Masih dari smartphone Guntur, sayup-sayup terdengar lagu itu. Judulnya, Lembata Tanaluwu. (Kba/Kf)