Organisasi lingkungan Greenpeace menilai Indonesia perlu khawatir dengan pembuangan air limbah radioaktif dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan perairan yang sangat luas dan berbatasan langsung dengan perairan Pasifik.
JAKARTA − Pemerintah Jepang memutuskan mulai membuang air limbah radioaktif yang telah diolah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi ke Samudra Pasifik, pada 24 Agustus 2023. Persiapan pembuangan air radioaktif ini dilakukan oleh Tokyo Electric Power Company (TEPCO) sebagai pengelola PLTN Fukushima.
Air limbah tersebut sebelumnya digunakan untuk mendinginkan reaktor radioaktif PLTN Fukushima Daiichi yang diterjang gempa dahsyat dan tsunami pada 11 Maret 2011. Air pengelolaan ini telah disimpan dalam tangki di PLTN Fukushima selama lebih dari satu dekade. Tetapi tempat penyimpanan tersebut kini telah kehabisan ruang.
Pengkampanye iklim dan energi di Greenpeace Indonesia, Didit Haryo Wicaksono, Kamis (24/8) mengatakan proses pembuangan limbah radioaktif yang setara dengan 540 kolam renang olimpiade itu seperti menanam bom ekologis ke wilayah perairan di Pasifik. Hal ini juga menunjukkan pemerintah Jepang sudah kehabisan akal dalam pengolahan limbah radioaktif yang terus bertambah setiap tahun.
Sebagai negara kepulauan dengan kawasan perairan yang sangat luas dan berbatasan langsung dengan perairan Pasifik, tentu Indonesia perlu khawatir. Meskipun dampaknya belum dirasakan saat ini tapi, lanjutnya, ancaman tersebut menghadang di tahun yang akan datang. Menurutnya kandungan zat-zat radioaktif ini sangat mungkin terakumulasi di hasil laut yang didapat dari perairan Indonesia.
“Karena sebagai sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas dan berbatasan langsung dengan Pasifik, ancaman atas limbah yang dilepaskan oleh pemerintah Jepang itu tentu akan berdampak dengan wilayah perairan kita. Akumulasi dari zat-zat radioaktif yang kemudian memapar wilayah perairan kita sangat mungkin masuk ke dalam hasil-hasil tangkapan kita,” kata Didit.
Sementara itu, peneliti senior bidang nuklir di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Djarot Sulistio Wisnubroto justru menyatakan sebaliknya. Menurutnya Indonesia tidak perlu khawatir akan potensi bahaya dari pembuangan air limbah radioaktif yang telah diolah tersebut. Ini dikarenakan air limbah yang dibuang itu sudah diolah sebelumnya, dan kegiatan semacam ini umum dilakukan PLTN berbasis air di seluruh dunia.
PLTN berbasis air, kata Djarot, secara periodik melepas air limbah radioaktif yang mengandung tritium ke sungai atau laut. Hal ini tidak masalah karena jauh dari batas yang disyaratkan.
“Itulah yang menyebabkan saya memberikan kesimpulan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan masyarakat Indonesia terkait dengan pelepasan air terolah dari Fukushima Daiichi tersebut. Kalau itu dipermasalahkan, itu lebih ke arah politik daripada sains,” ujarnya.
Sejauh ini hanya pemerintah China yang menyampaikan penolakan atas rencana pembuangan air limbah radioaktif dari PLTN Fukushima. Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan tetap bersikap netral.
Menurutnya, pembuangan air limbah radioaktif PLTN Fukushima ke laut sedianya dilakukan secara perlahan agar tidak melebihi batas yang disyaratkan oleh IAEA. Selama ini Jepang dikenal senantiasa mengikuti prosedur dan memproses pengolahan air limbah itu dengan baik.
Djarot melihat konsentrasi tritium dalam air limbah radioaktif PLTN Fukushima yang dibuang ke laut sangat rendah, sehingga tidak berdampak signifikan terhadap biota laut.
Sebelumnya juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menggarisbawahi urgensi pembuangan air limbah radioaktif yang sudah diolah itu sedianya dilakukan secara transparan. Ditambahkannya, Indonesia telah secara aktif membahas isu ini di forum Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA), yang secara intensif melakukan pemeriksaan dan kajian dari aspek kesehatan, keamanan dan lingkungan.
Pemerintah Jepang mengumumkan rencana pembuangan air limbah radioaktif itu ke laut pada 2021, dan telah menghadapi protes keras, terutama dari kelompok-kelompok perikanan di Jepang. Kelompok-kelompok di Korea Selatan dan China juga menyuarakan keprihatinan, menjadikannya sebagai masalah politik dan diplomatik.
Kelompok konservasi dan sejumlah aktivis lainnya termasuk di antara mereka yang melakukan protes di luar kantor pusat TEPCO di Tokyo dan sejumlah lokasi di Fukushima saat pengumuman persiapan akhir dilakukan.
Sebagian air limbah radioaktif yang terkumpul di PLTN sejak bencana pada 2011 itu telah didaur ulang agar reaktor yang rusak tetap dingin, karena tsunami menghancurkan sistem pendingin PLTN itu. Namun, sisa airnya disimpan di sekitar 1.000 tangki besar, yang telah terisi 98 persen dari kapasitas yang mencapai 1,37 juta ton.
Tangki-tangki tersebut menutupi sebagian besar kompleks PLTN, yang membutuhkan ruang untuk membangun fasilitas baru yang diperlukan untuk melanjutkan penonaktifan PLTN itu.
Pihak berwenang mengatakan pembuangan itu harus dilakukan guna mencegah kebocoran yang tidak disengaja dari air yang tidak diolah dan tidak diencerkan, yang melebihi batas keamanan yang ditetapkan pemerintah. [Fw/Ab]