JAKARTA − Pengamat menilai terdapat dua kemungkinan yang menjadi alasan Airlangga Hartarto mundur dari jabatan ketua umum Partai Golkar. Bahkan keputusan tersebut diambil hanya selang dua pekan sebelum pendaftaran peserta Pilkada Serentak 2024.
Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli meragukan alibi Airlangga yang menyebut ingin berfokus pada tugasnya di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian jelang suksesi Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo Subianto.
Menurut dia, kemungkinan pertama yang memicu Airlangga mundur adalah adanya kasus hukum yang menjeratnya. Belakangan, hal ini dikaitkan peran Airlangga pada kasus korupsi izin ekspor minyak di Kementerian Perdagangan. Kasus korupsi ini menjerat orang kepercayaan Airlangga, Lin Che Wei — saat itu disebut sebagai Tim Asistensi Kemenko Perekonomian.
“Kemungkinan kedua, dugaan adanya intervensi dari kekuatan eksternal. Jika ini benar adanya, sangat disayangkan partai sebesar Golkar mudah diobok-obok. Moga kemungkinan yang ini tidak benar,” kata Lili saat dihubungi, Senin (12/8/2024).
“Kalau iya, alarm juga bagi partai-partai politik yang lain.”
Menurut Lili, arah politik Golkar ke depannya bisa dipastikan akan tetap menjadi bagian dari kekuasaan karena tidak mungkin Golkar akan keluar menjadi oposisi.
“Tidak ada tradisi politik Golkar sebagai oposisi, ia akan selalu ada dalam kekuasaan,” tutur Lili.
Pengamat politik Firman Noor menilai, kabar mundurnya menko perekonomian itu memang terendus kencang berasal dari faktor eksternal Golkar karena tidak mungkin jika bukan orang biasa dapat menggeser posisi ketua umum.
“Ya ada cerita juga lah faktor lain yang bisa kita endus, tapi kan baru bau-bau aja ya memang. Memang kalau se-level Airlangga bisa digeser, yang geser itu pastinya bukan kaleng-kaleng gitu,” tutur Firman.
Menurut Firman, Airlangga pasti telah berhitung terkait kasus korupsi yang menjeratnya hingga akhirnya mantan Menteri Perindustrian era Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla itu akhirnya memilih mundur sebagai Ketum Golkar.
Di sisi lain, kata Firman, Airlangga cukup berprestasi dalam memimpin Golkar karena dapat menaikkan suara Golkar dalam Pilpres dan Pileg. Hanya saja, waktu pengunduran diri Airlangga tidak tepat.
“Mungkin terkait dengan situasi hukum [kasus korupsi minyak sawit mentah] yang memang mungkin sudah tidak bisa ditutup lagi,” ucap Firman. [Mfd]