GARUT − Di tengah kesibukan persiapan Pilkada Serentak 2024 di Kabupaten Garut, situasi politik yang semula tampak tenang mendadak berguncang dengan munculnya kabar mengejutkan. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Garut, Dian Hasanudin, menjadi pusat perhatian publik setelah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh dua mantan penyelenggara pemilu. Firman Firmansyah, mantan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Garut Kota, dan Mohamad Husni Mudakir, mantan Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Desa Cibodas, Kecamatan Cikajang, dengan tegas melayangkan tuduhan yang mengejutkan terkait integritas pemilu di daerah tersebut.
Laporan ini tidak muncul begitu saja. Firman Firmansyah, dalam pengakuannya yang menggemparkan, membeberkan dugaan manipulasi suara yang ia katakan sebagai pengkhianatan terhadap demokrasi. Menurut Firman, ada kekuatan-kekuatan tertentu yang mencoba merusak proses demokrasi yang seharusnya dijalankan dengan jujur dan adil. Ia menuduh bahwa ada konspirasi terstruktur di balik layar yang dengan sengaja mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi demi kepentingan segelintir pihak.
Tidak hanya sekadar tuduhan, Firman juga memberikan detail yang mengarah pada keterlibatan langsung Ketua KPU Kabupaten Garut, Dian Hasanudin. Dalam pernyataannya, Firman menyebut bahwa dirinya menerima instruksi dari Dian untuk memanipulasi hasil suara pada pemilu yang lalu. Instruksi tersebut, menurut Firman, jelas bertujuan untuk menambah suara bagi seorang calon legislatif berinisial “L” dan, secara bersamaan, mengurangi suara yang diperoleh oleh Partai Gerindra. Tindakan seperti ini, menurut Firman, adalah pelanggaran serius terhadap kode etik yang harus dipegang teguh oleh setiap penyelenggara pemilu.
Langkah Firman untuk melaporkan Dian Hasanudin ke KPK dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menunjukkan tekadnya untuk memperjuangkan keadilan. Bersama dengan Mohamad Husni Mudakir, yang juga memiliki pengalaman langsung sebagai penyelenggara pemilu di tingkat desa, mereka berdua menekankan pentingnya menjaga integritas pemilu. Husni menambahkan bahwa manipulasi semacam ini bukan hanya merusak demokrasi, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
Kasus ini menarik perhatian luas karena datang di saat yang krusial, menjelang Pilkada Serentak 2024. Keterlibatan petinggi KPU dalam dugaan manipulasi suara tentu menimbulkan kekhawatiran serius mengenai transparansi dan keadilan pemilu. Firman dan Husni, dalam berbagai kesempatan, mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa manipulasi semacam ini bisa menjadi lebih luas jika tidak segera ditangani. Mereka menyatakan bahwa KPU, sebagai lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga demokrasi, justru kini terancam menjadi alat bagi kepentingan politik tertentu. Hal ini, menurut mereka, merupakan ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia, khususnya di daerah-daerah seperti Kabupaten Garut.
Dalam perkembangan ini, langkah Firman dan Husni untuk melaporkan dugaan pelanggaran ke KPK dan DKPP sebagai bentuk kekhawatiran dalam berdemokrasi. Mereka ingin KPU garut menjaga prinsip-prinsip demokrasi. Firman dan Husni berharap agar laporan tersebut diproses dengan cepat dan adil, sehingga bisa menjadi contoh bahwa setiap pelanggaran terhadap demokrasi akan mendapatkan sanksi yang setimpal.
“Kasus ini menjadi cermin betapa pentingnya integritas dalam setiap proses pemilu. Apakah KPU Kabupaten Garut mampu memulihkan kepercayaan publik dan menjalankan Pilkada Serentak 2024 dengan jujur dan adil? Ataukah laporan ini akan menjadi awal dari terbongkarnya skandal yang lebih besar?,” Pungkas Firman. Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti, Firman dan Husni sebagai masyarakat Garut kini menaruh harapan besar agar kebenaran dapat ditegakkan dan demokrasi tetap terjaga. ***