JAKARTA − Hari ini, Senin (8/7/2024), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan judicial review atau pengujian materiil UU No. 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2/2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang.
Sidang dijadwalkan pada pukul 10:30 WIB di gedung MK Lantai 2, dengan pemohon terdiri atas Partai Buruh, dan lain-lain. Kuasa hukum atas permohonan sidang tersebut adalah M. Imam Nasef SH MH dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi pemohon.
Untuk diketahui, uji materiil merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Sejak ditetapkannya UU Ciptaker pada 2020, Presiden Joko Widodo mempersilakan kalangan masyarakat siapa saja yang keberatan terhadap konstitusi tersebut untuk mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam sidang judicial review hari ini, Partai Buruh yang juga diwakili oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengajukan beberapa tuntutan yang pada ujungnya menekankan pada pencabutan UU Ciptaker dan Hostum (Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah).
8 Tuntutan
Beberapa alasan yang melandasi tuntutan tersebut, kata Said, a.l. pertama, UU Cipta Kerja dinilai mengembalikan konsep upah minimum menjadi upah murah, dan mengancam kesejahteraan buruh dengan kenaikan upah yang kecil dan tidak mencukupi.
Kedua, tidak adanya batasan jenis pekerjaan yang boleh dimencadayakan, sehingga menghilangkan kepastian kerja bagi buruh.
“UU Cipta Kerja memungkinkan kontrak kerja berulang-ulang tanpa jaminan menjadi pekerja tetap, hal ini mengancam stabilitas kerja,” jelas Said melalui keterangan tertulis, dikutip Senin.
Ketiga, UU Ciptaker dinilai memberikan pesangon hanya setengah dari aturan sebelumnya, sehingga merugikan buruh yang kehilangan pekerjaan.
Keempat, dia menuding dengan adanya UU Ciptaker, proses PHK menjadi dipermudah, sehingga membuat buruh tidak memiliki kepastian kerja dan selalu berada dalam posisi rentan.
“[Kelima,] pengaturan jam kerja yang tidak menentu menyulitkan buruh untuk mengatur waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi,” sambungnya.
Keenam, tidak adanya kepastian upah selama cuti, khususnya bagi buruh perempuan, sehingga menambah kerentanan dan diskriminasi di tempat kerja.
Ketujuh, Said juga menekankan, UU Cipta Kerja justru semakin meningkatkan jumlah tenaga kerja asing tanpa pengawasan ketat, dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan buruh lokal.
Kedelapan, dia menuding UU Cipta Kerja menciptakan penghapusan sanksi pidana bagi pelanggaran hak-hak buruh, serta memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk melanggar tanpa konsekuensi hukum berat.
“Aksi ini diharapkan dapat memberikan tekanan yang kuat kepada pemerintah untuk mendengarkan suara pekerja dan mencabut UU Cipta Kerja yang telah terbukti merugikan,” ujarnya, mengacu pada aksi demonstrasi yang juga digelar pada hari ini, mengawal jalannya sidang lanjutan tersebut.
Menyitir situs resmi MK, KSPI yang diwakili oleh Said Iqbal, dkk sebelumnya pernah mengajukan permohonan uji materi yang teregistrasi dengan Nomor 101/PUU-XVIII/2020.
Para pemohon perkara tersebut mengajukan uji materi terhadap Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Cipta Kerja. Para Pemohon menyatakan bahwa UU Cipta Kerja menimbulkan ketidakpastian hukum serta menghilangkan dan/atau menghalangi hak konstitusional para Pemohon.
Pemohon mendalilkan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7); Pasal 27 Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2); Pasal 28E Ayat (3), dan Pasal 28I UUD 1945. [Red/Bb]