PALEMBANG − DPW PPMI Sumatra Selatan menolak Tapera dan Cabut UU Cipta Kerja UU No 26 tahun 2023 tentang Cipta Kerja dicabut dan menolak RUU Kesehatan. Kemudian buruh juga menolak rencana kenaikan BBM, listrik, dan pajak serta berantas korupsi yang menyebabkan rakyat menderita.
Buruh mengaku sangat terbebani dengan Tapera yang wajib dipatuhi, dengan besaran simpanan adalah 3% dari gaji atau upah. Besaran ini dibagi menjadi 0,5% yang ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5% yang harus dibayarkan oleh pekerja.
“Selama ini para pekerja sudah dibebankan dengan iuran, dan pajak dan lain-lain yang sangat berimbas pada gaji yang diterima pekerja. Lalu, kenaikan harga bahan pokok yang terus naik, membuat kami para pekerja menjadi sangat terjepit, dengan gaji yang tersisa tak sampai 1 juta, belum lagi angsuran rumah,” ujar Ketua DPW PPMI Sumatra Selatan Ferry Lesmana, Kamis, 27 Juni kemarin.
Lebih dalam Ferry mempertanyakan,” jika pekerja sudah berusia di atas 50 tahun dan dipecat dari perusahaan, siapa yang menjamin tabungan itu dapat diambil, jika baru saja tahun ikut program Tapera tahun 2027 nanti.”

“Terus uang yang disimpan milik pekerja yang jumlahnya triliunan rupiah, nanti untuk siapa,” katanya.
Selain menolak Tapera, buruh juga menuntut agar UU No 26 tahun 2023 tentang Cipta Kerja dicabut dan menolak RUU Kesehatan. Kemudian buruh juga menolak rencana kenaikan BBM, listrik, dan pajak serta berantas korupsi yang menyebabkan rakyat menderita.
Terpisah, ditempat yang sama, Ketua DPD KSPSI Sumsel, H. Zainal Arifin Hulap, menyebut beberapa tuntutan, di antaranya menolak penerapan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), pemberlakuan undang-undang Omnibuslaw, upah murah untuk buruh, dan tenaga kerja outsourcing.
“Khusus Tapera, kebijakan ini seolah-olah rumah yang diberikan adalah rumah hantu karena regulasinya belum jelas dan tidak sesuai. Buruh yang sudah memiliki rumah akan terbebani dengan kebijakan ini sehingga kami menolak. Ini bisa menjadi kasus seperti Asabri dan Jiwasraya yang bermasalah,” ujar Zainal. [Attar]